Sunday, February 23, 2014

Cerita Semut dan Capung


Syihabuddin Yahya As-Suhrawardi
SEEKOR SEMUT dengan rencana
tersusun di pikirannya, sedang
mencari-cari madu ketika seekor
capung hinggap pada kuntum bunga itu
dan menghisap madunya. Capung itu
sebentar-sebentar terbang pergi dan
kembali lagi.
Kali ini Si Semut berkata, Kau ini
hidup tanpa usaha, juga tanpa
rencana. Karena kau tidak punya
tujuan nyata maupun cita-cita,
apakah ciri utama dari hidupmu dan ke
manakah akhirnya?

Jawab Si Capung, Aku bahagia, dan
aku bersenang-senang, itu cukup
nyata dan bertujuan. Tujuanku adalah
tanpa tujuan. Kau boleh berencana
sesukamu; kau tak bisa meyakinkanku
bahwa ada cara hidup yang lebih baik.
Bagimu rencanamu, bagiku
rencanaku.
Si Semut berpikir, Yang tampak
olehku ternyata tak tampak olehnya.
Ia tahu apa yang terjadi pada semut.
Aku tahu apa yang terjadi pada
capung. Baginya rencananya, bagiku
rencanaku.
Si Semut pun berlalu, sebab ia telah
memperingatkan sebisanya dalam
situasi itu.
Hingga suatu ketika mereka bertemu
lagi.
Si Semut menemukan kios tukang
daging, dan dengan cerdik ia berdiri
saja di bawah meja tempat daging,
menunggu apa yang mungkin datang
padanya.
Si Capung, begitu melihat daging
merah dari atas, segera menukik dan
hinggap di atasnya. Persis pada saat
itu pisau tukang daging mengayun dan
membelah capung itu menjadi dua.
Separoh tubuhnya jatuh di lantai dekat
kaki Si Semut. Sambil memegang
bangkai itu dan mulai menyeretnya ke
sarang, Si Semut berkata kepada
dirinya sendiri, Berakhir sudah
rencananya, dan rencanaku terus
berlanjut, Baginya rencananya telah
usai, bagiku rencanaku mulai
berputar. Kebanggaan tampaknya
penting, tetapi fana. Hidup memakan,
berakhir dengan dimakan oleh yang
lainnya. Ketika kukatakan ini padanya,
ia pikir aku perusak kesenangan.
Kisah yang hampir sama ditemukan
juga dalam Divine Book karya Attar,
walaupun dalam penerapannya sedikit
berbeda dari versi ini, yang
diriwayatkan oleh seorang darwis
Bokhara dekat makam Al-Shah,
Bahaudin Naqshabandi, enam puluh
tahun silam. Kisah ini diambil dari buku
catatan seorang Sufi yang disimpan di
Masjid Agung di Jalalabad (Idris Shah)

Original Post : http://sufinews.com/

No comments:

Post a Comment