Sunday, February 23, 2014

Mengejar Allah SWT


Seorang tamu di kedai itu sejak tadi pagi
memegang tasbih. Rambutnya gondrong,
menjadi lengkap disebut sebagai
pengembara ketika tongkat dan
rangselnya ada di pundaknya. Tapi
wajahnya tampak sangar, matanya
memerah dan lehernya menekuk.
"Mas, apa saya boleh berguru ke pondok
ini ya?" celetuknya pada Pardi.
"Berguru apa Mas?"
"Ya, supaya saya bisa dzikir, dan tentu
sampean tahu maksud saya..."
"Wah saya ini orang bodoh Mas. Jadi
saya tak mengerti maksud Mas..."
"Begini, singkatnya, saya sedang
mencari banyak guru, untuk memburu
ilmu, agar saya mendapatkan karomah,
kehebatan, dan sekaligus pahala. Oh, ya,
apakah keistemewaan dari dzikir dan
ilmu di sini...."
"Wooooouuuu begitu to maksud anda. Di
sini tidak mengajarkan dzikir dengan
keistemewaan supaya bisa begini dan
begitu. Kalau mengajarkan ilmu jelas
ada. Tapi bukan ilmu yang anda cari. Di
sini hanya mengajarkan ilmu menata
batin, menata jiwa, agar hubungan
dengan Allah itu punya adab. punya
etika dan sopan santun...."
"Memang kalau kita berdzikir padaAllah
itu tidak ada sopan santunnya Mas?"
tanya orang itu.

"Lha kalau dzikirnya demi pahala dan
kehebatan itu sah-sah saja. Tapi anda
nggak dapat pahala besar. Bolehlah
pahala kecil, apalagi kalau dzikirnya
agar dapat karomah, malah di sini yang
begitu malah dapat sampah...."
Pemuda itu terjengak. Kaget setengah
mati dengan jawaban aneh Pardi yang
ceplas ceplos itu.Seakan-akan
membongkar seluruh pandangan
hidupnya tentang ilmu dan dzikir,
seperti ada revolusi batin yang sungguh
begitu keras dan meledak-ledak.
"Sampean mau dapat ilmu membaca
pikiran orang? Tahu apa yang telah
dilakukan orang lain kemarin? Atau
yang bakal terjadi?"
Pemuda itu semakin kaget. Ia tertunduk
merenung dalam konflik batin yang tak
karuan. Ingin marah, tapi juga ia tak
dapat menyangkal kebenaran omongan
si Pardi itu.
Pardi sendiri juga heran. Tapi siapa yang
harus diherankan ketika kehidupan
perjalanan manusia melalui proses yang
memnang harus demikian. Semula
manusia ingin mencari rahasia-rahasia
Allah, memburu kehebatan-kehebatan,
bahkan dengan segala kedigdayaan dan
kebanggaannya, terus mencari yang
dahsyat-dahsyat. Lalu mereka
kehilangan Allah, kehilangan tujuan
hakiki hidupnya, sirna dalam buih-buih
pencariannya.
Dulkamdi tiba-tiba masuk bersama Kang
Soleh. Dua sahabat itu bernyanyi-
nyanyi kecil. Sambil berselimut sarung,
mereka langsung memesan kopi.
Sementara pemuda tadi masih terus
bergumul dengan kontemplasinya.
Kang Soleh menebarkan senyum
khasnya. Tapi matanya tampak
berkaca-kaca. Seperti menahan duka
yang dalam. Tapi juga ada peradaan
menepiskan duka itu. Lalu ia bicara
seperti orang berpidato, sambil sesekali
tangannya mengepal memukul-mukul
pahanya sendiri.
"Saya nggak habis pikir kenapa orang
diajak pada kebaikan sulitnya bukan
main. Orang di ajak beribadah malasnya
bukan main. Orang diajak dzikir yang
tergambar hanya proposalnya saja di
depan Allah. Orang sudah banyak yang
ingin memaksa Allah sesuai dengan
seleranya. Orang diajak senyum malah
marah. Diajak marah malah menghindar
dari kenyataan. Diajak menuju kepada
Allah malah ingin mencari selain Allah,
mencari pahala, mencari kehebatan,
mencari hal-hal aneh. Apakah mereka
masih punya alasan lain untuk
mendurhakai Allah?"
Pemuda tadi tiba-tiba pucat pasi
mendengar orasi Kang Soleh yang cukup
emosional. Tapi Kang Soleh terus
nerocos.
"Tapi,....yaaakh...Memang Allah masih
menakdirkan mereka itu sebatas itu, mau
apalagi. Astaghfirullaahal'adzim,
jangan-jangan saya sendiri malah
hancur-hancuran. Saya memburu ikan
paus malah dapat ikan teri. Saya
memburu Allah, malah terpesona
rahasia-rahasia Allah.
Wah..weah...wah..." kata Kang Soleh
geleng kepala, sambil airmatanya
bercucuran.
"Kang...Kang! Tenang, Kang!....kita
pakai teori, kejarlah daku kau
kutangkap!" ceplos Dulkamdi.
"Betul....!" jerit Kang Soleh keras-
keras. "Kita membru Allah, mengejar
Allah, biar ditangkap oleh Allah. Tapi
Dul....Dul....." Kang Soleh tak mampu
meneruskan kata-katanya. Nafasnya
tersenggal-senggal.
"Tapi apa Kang?"
"Tapi...Ditangkap Allah itu rasanya sakit
Dul, sakit sekali....pedih. Kamu tahu Dul,
betapa hangus nya diri kita dalam
Genggaman Allah. Tapi, sesungguhnya
dibalik genggaman itu ada ruang tak
terhingga ketika jiwa kita dilepas oleh
genggamanNya. Hati kita bisa melihat
kebun mawar syurgawi, taman firdaus
ruhani, dan tarian mahajelita jamaliyah
bidadari....Dul...."
Kang Soleh seseunggukan seperti anak
kecil. Dan Pemuda itu yang sedari tadi
pucat pasi, sudah tergolek tak mampu
bergerak lagi, kecuali dadanya yang
naik turun. Pingsan!

Original Post : http://sufinews.com/

No comments:

Post a Comment