Sunday, February 23, 2014

Syaikh Ihsan Jampes (1901 – 1952) Ulama Dari Kediri


Syaikh Ihsan Jampes (1901 1952) Ulama
Dari Kediri
Syaikh Ihsan lahir pada 1901 M. dengan
nama asli Bakri, dari pasangan KH.
Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan,
ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai
yang tersohor pada masanya; dia pula
yang merintis pendirian Pondok
Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.
Tidak banyak yang dapat diuraikan
tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur
ibu. Yang dapat diketahui hanyalah
bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny.
Artimah, putri dari KH. Sholeh
Banjarmelati-Kediri. Sementara itu,
dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah
putra KH. Dahlan putra KH. Saleh,
seorang kiai yang berasal dari Bogor
Jawa Barat, yang leluhurnya masih
mempunyai keterkaitan nasab dengan
Sunan Gunung jati (Syarif
Hidayatullah) Cirebon.

Terkait dengan nasab, yang tidak dapat
diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan
(ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny.
Istianah. Selain Ny. Istianah ini
memiliki andil besar dalam membentuk
karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny.
Istianah ini pula mengalir darah para
kiai besar. Ny. Istianah adalah putrid
dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang
ulama sakti mandraguna dari Lorog
Pacitan, yang jika urutan nasabnya
diteruskan akan sampai pada
Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan
Mataram pada abad ke-16. Itu dari
jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny.
Istianah adalah cicit dari Syaikh Hasan
Besari, seorang tokoh masyhur dari
Tegalsari Ponorogo yang masih
keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan
Jampes.
Ny. Istianah dan KH. Saleh-
Pertumbuhan dan Rihlah Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri
kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua
orang tuanya memutuskan untuk
bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri
kecil tinggal dilingkungan pesantren
bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan
diasuh oleh neneknya, Ny. Istianah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki
kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki
daya ingat yang kuat. Ia juga tekun
membaca buku, baik yang berupa
kiatab-kitab agama maupun bidang lain,
termasuk majalah dan Koran. Selain itu,
satu hal yang nyeleneh adalah
kesukaannya menonton wayang. Di mana
pun pertunjukan wayang digelar, Bakri
kecil akan mendatanginya; tak peduli
apakah seorang dalang sudah mahir
ataukah pemula. Karena kecerdasan dan
penalarannya yang kuat, ia menjadi
paham benar berbagai karakter dan
cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah
menegur dan berdebat dengan seorang
dalang yang pertujukan wayangnya
melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau
seluruh keluarga adalah kesukaannya
berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri
bukan sembarang judi, dalam arti Bakri
berjudi hanya untuk membuat kapok
para penjudi dan Bandar judi, tetap
saja keluarganya merasa bahwa
perbuatan Bakri tersebut telah
mencoreng nama baik keluarga. Adalah
Ny. Istianah yang merasa sangat
prihatin dengan tingkah polah Bakri,
suatu hari mengajaknya berziarah ke
makam para leluhur, khususnya makam K.
Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K.
Yahuda inilah Ny. Istianah
mencurahkan segala rasa khawatir dan
prihatinnya atas kebandelan cucunya
itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri
kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda.
Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta
Bakri untuk menghentikan kebiasaan
berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri
tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap
tegas. Ia mengambil batu besar dan
memukulnya ke kepala Bakri hingga
hancur berantakan. Mimpi inilah yang
kemudian menyentak kesadaran Bakri;
sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri,
merenung makna keberadaannya di
dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam
hidupnya, ia keluar dari pesantren
ayahnya untuk melalalng buana mencari
ilmu dari satu pesantren ke pesantren
lain. Beberapa pesantren yang sempat
disinggahi oleh Bakri diantaranya:
Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH.
Khozin (paman Bakri sendiri),
Pondok Pesantren Jamseran Solo,
Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan
Semarang,
Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
Pondok Pesantren Punduh Magelang
Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
Pondok Pesantren Bangkalan Madura
asuhan KH. Kholil, sang Guru Para
Ulama.
Yang unik dari rihlah ilmiah yang
dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak
pernah menghabiskan banyak waktu di
pesantren-pesantren tersebut.
Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu
Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia
hanya menghabiskan waktu dua bulan;
belajar falak kepada KH. Dahlan
Semarang ia hanya tinggal di
pesantrennya selama 20 hari; sedangkan
di Peantren Jamseran ia hanya tinggal
selama satu bulan. Namun demikian, ia
selalu berhasil menguasai dan
memboyong ilmu para gurunya
tersebut dengan kemampuan di atas
rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren
yang ia singgahi, Bakri selalu
menyamar. Ia tidak mau dikenal
sebagai gus (sebutan anak kiai); tidak
ingin diketahui identitas aslinya sebagai
putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes.
Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka
sehingga santri-santri tahu bahwa ia
adalah gus dari Jampes, dengan serta
merta ia akan segera pergi,
menghilang dari pesantren tersebut
untuk pindah pesantren lain.
Mengasuh Pesantren dan Masyarakat
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah
haji. Sepulang dari Makkah, namanya
diganti menjaid Ihsan. Dua tahun
kemudian, Ihsan berduka karena sang
ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah
SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP
Jampes dipercayakan kepada adik KH.
Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya
Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh
Pesantren Jampes hanya selama empat
tahun. Pada 1932, dengan suka rela
kepemimpinan Pesantren Jampes
diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat
itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh
Pesantren Jampes.
Ada banyak perkembangan signifikan di
Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan
diangkat sebagai pengasuh. Secara
kuantitas, misalnya, jumlah santri terus
bertambah dengan pesat dari tahun ke
tahun (semula ± 150 santri menjadi ±
1000 santri) sehingga PP Jampes harus
diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar
tanah. Secara kualitas, materi pelajaran
juga semakin terkonsep dan terjadwal
dengan didirikannya Madrasah
Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai seorang kiai, Syaikh Ihsan
mengerahkan seluruh perhatian, pikiran
dan segenap tenaganya untuk
diabdikan kepada santri dan
pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi
aktivitas spiritual dan intelektual;
mengajar santri (ngaji), shalat jamaah,
shalat malam, mutholaah kitab, ataupun
menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya
didesikannya untuk santri, ternyata
Syaikh Ihsan tidak melupakan
masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal
memiliki lmu hikmah dan menguasai
ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-
sela kesibukannya mengajar santri,
Syaikh Ihsan masih sempat menerima
tamu dari berbagai daerah yang
meminta bantuannya.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh
Ihsan juga memiliki andil penting dalam
perjuangan bangsa. PP Jampes selalu
menjadi tempat transit para pejuang
dan gerilyawan republik yang hendak
menyerang Belanda; di Pesantren
Jampes ini, mereka meminta doa restu
Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan
perjalanan. Bahkan, beberapa kali
Syaikh Ihsan turut mengirim santri-
santrinya untuk ikut berjuang di garis
depan. Jika desa-desa di sekitar
pesantren menjadi ajang pertempuran,
penduduk yang mengungsi akan memilih
pp jampes sebagai lokasi teraman,
sementara Syaikh Ihsan membuka
gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan
Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau
September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil
oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia
meninggalkan ribuan santri, seorang
istri dan delapan putra-puteri. Tak ada
warisan yang terlalu berarti
dibandingkan dengan ilmu yang telah
dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian
tersimpan dalam suthur (kertas: karya-
karyanya yang abadi) maupun dalam
shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syaikh Ihsan yang
mewarisi dan meneruskan
perjuangannya dalam berdakwah melalui
pesantren adalah: (1) Kiai Soim
pengasuh pesantren di Tangir Tuban; (2)
KH. Zubaidi di Mantenan Blitar; (3) KH.
Mustholih di Kesugihan Cilacap; (4) KH.
Busyairi di Sampang Madura; (5) K.
Hambili di Plumbon Cirebon; (6) K.
Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat
besar adalah karya-karya yang
ditinggalkannya bagi masyarakat muslim
Indonesia, bahkan umat Islam seluruh
dunia. Sudah banyak pakar yang
mengakui dan mengagumi kedalaman
karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya
masterpiecenya, siraj ath-Thalibin,
terutama ketika kitab tersebut
diterbitkan oleh sebuah penerbit besar
di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab.
Sayangnya, di antara kitab-kitab
karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-
Thalibinlah yang mudah didapat. Itu pun
baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat
pesantren sebab belum diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan
Jampes yang terlacak:
Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab
Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad
Dahlan Semarang), terbit pada 1930
setebal 48 halaman. Buku ini mengulas
ilmu falak (astronomi).
Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab
Minhaj al-Abidin karya Imam al-
Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800
halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
Manahij al-Imdad (syarah dari kitab
Irsyad al-Ibad karya Syaikh Zainudin
al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ±
1088 halaman, mengulas tasawuf.
Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb
al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi
puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah
al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-
Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan
Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman.
Buku ini berbicara tentang polemik
hukum merokok dan minum kopi.
(Dihimpun dari berbagai sumber,
terutama dari buku Syaikh Ihsan
Muhammad Dahlan al-Jampesi al-
Kediri karya KH. Busyro A. Mughni
[t.p., t.t.]

Original Post : http://sufinews.com

No comments:

Post a Comment