Dony, pemuda yang sangat lugu, memasuki dunia thariqat sufi.
Ia disarankan suluk (khalwat secara khusus di pemondokan Sufi) oleh gurunya, 41
hari, karena memang demikian aturannya.
Begitu gembira ia
berangkat ke pesulukan Sufi di Jawa Timur, yang selama hidup belum pernah ia
alami. Jangankan suluk, belajar di pesantren pun belum pernah ia lakoni.
Semangat Dony berkobar penuh dengan kegembiraan.
Sembari menghitung waktu dari ibukota negeri ini, Jakarta,
ia menunggu hari-hari keberangkatan dengan berdebar.
Sampai di Pesulukan, hatinya semakin berdebar, tarik menarik
mulai muncul, antara harus menjalani Suluk 41 hari, dengan keinginan segera
pulang ke Jakarta.
Hari pertama ia suluk, sudah tidak kerasan di pesulukan.
Pikiran dan hatinya ingat Jakarta, keluarga dan anak-anaknya.
Dony coba menguatkan hatinya, tapi tak mampu. Lalu
berkemas-kemaslah manata pakaiannya untuk dimasukkan kopor, dan esok hari niat
pulang ke Jakarta.
“Saya mau
pulang Mas..” pintanya pada pengurus
pondok.
“Lho, kenapa?”
“Saya nggak kuat…”
“Tanya guru
dulu sebelum kamu balik ke Jakarta…”
Dony menelpon gurunya, tapi dapat jawaban yang lebih
mencekam hatinya.
“Kalau kamu
besok pagi pulang, nanti kalau kembali lagi malah saya tambah jadi 81 hari…”
Dony sam’an wa-tha’an (manut saja), tetapi setiap hari ia ingin pulang dan setiap hari pula ia mengemas pakaiannya untuk masuk di kopernya. Situasi demikian berlangsung sampai dua belas hari. Hingga Dony popular di pesulukan itu kalau wiridnya Dony adalah mengeluarkan dan memasukkan pakaian ke kopornya setiap hari.
“Kamu akan
menjadi orang peragu, dan skeptis selamanya kalau kamu begitu terus. Kamu di
sini diajari supaya jadi orang yang punya rasa yaqin…”
Begitu saran sahabatnya sesama pesuluk. Dan Dony agak
terjengah. Akhirnya Ia kunci kopornya lalu ia buang kuncinya.
Mulai saat itu hatinya tenang, tidak lagi ingat Jakarta,
keluarga dan anak-anaknya.
“Kenapa saya
menjadi peragu seperti itu kemarin ya Kang?”
tanyanya pada sahabatnya itu.
“Ya seluruh
kebiasaan hatimu akan muncul di sini. Di Jakarta kamu pasti seorang peragu….Sekarang sudah keluar semua
hawa nafsumu itu …”
Dony hanya termenung saja sembari menunggu hari-hari yang
hendak dilalui di pesulukan itu.
Pertama kali memasuki dunia pesulukan, Ustadz Tony, mulai
bingung. Setiap ketemu orang pasti ia ceramahi. Setiap ada orang sedang
nggerombol ia nimbrung, ia ceramahi tentang dunia Sufi.
Tapi lama-lama ia mulai menyadari, kenapa sahabat satu
pesulukan ada yang selalu pamer kadigdayan, kesaktian dan ilmu-ilmu hikmah di
sana. Benar-benar kisah seorang pendekar dengan segala tantangannya.
Ada lagi yang diam saja seribu bahasa, tak pernah bicara
kecuali seperlunya. Ada lagi sampai di pondok langsung teriak-teriak, ngomel di
sana sini, kurang ini, kurang itu, hawa panas, fasilitas kurang dan lainnya.
Ada yang mojok sendirian saja sambil ngelamun, entah kemana
pikirannya. Ustadz tony mulai menyadari ada gejala apa ini? Kenapa malah begini
di sini, kenapa gejolaknya naik turun?
Diam-diam Ustadz Tony tidak lagi mau menceramahi
kawan-kawannya. Diam-diam ia mulai merasa malu dengan dirinya. Seiring itu
pula,macam ekspressi dan watak yang biasa muncul dari kawan-kawan pesulukan
mulai mengalami evolusi ruhani. Rupanya ia menyadari bahwa , dan setiap hari
Ustadz Tony malah jadi orang yang setengah waras, setengah gila, karena setiap
hari ia tertawa sendiri. “Weh..weh di
sini kayak di Mekkah saja…sifat
aslinya pada nongol, termasuk diri saya…he
he he..” gumannya.
Tertawanya semakin meledak kalau ia mengingat kisah
sayyidina Umar yang tertawa-tawa sendiri dan menangis, jika ingat di masa
Jahiliyah dulu. “Di pesulukan
ini seluruh ilmu dan amal masa lalu harus lepas…!” hanya itu
kata yang selalu diingat dari sesama pesuluk. Dan malah tawanya meledak.
Original Post: http://sufinews.com/
No comments:
Post a Comment