Sunday, February 23, 2014

Menyembuhkan Nafsu


Syeikh Abdul Wahab Asy-Syarani
TERMASUK perilaku yang harus
dilakukan murid, hendaknya berusaha
menipu daya bisikan-bisikan nafsunya,
memperbaiki akhlaknya, menghilangkan
kelalaian (ghaflah) dengan Allah dan
hatinya dengan cara selalu
membiasakan berdzikir (mengingatNya).
Ini bisa dilakukan dengan cara
memperbanyak bacaan al-Quran dan
shalat. Maka seorang murid yang
benar-benar jujur tidak akan berpaling
darinya, sebab al-Quran merupakan
dzikir yang sempurna, dan demikian pula
shalat.

Maka tugas utama seorang murid adalah
membersihkan bagian lahir dan batin
dari sifat-sifat yang menghalanginya
untuk masuk ke hadirat Allah Azza wa-
Jalla, seperti marah, tinggi hati,
takabur, bangga dengan dirinya dan
lain-lain. Apabila seorang murid telah
membersihkan dirinya dari sifat-sifat
tercela seperti itu, maka ia patut untuk
membaca al-Quran, bermunajat dan
berhadapan dengan Tuhannya, berhenti
di depan-Nya untuk shalat dan lain-
lain. Inilah yang dilakukan para salaf
saleh.
BERDZIKIR KEPADA ALLAH
MENYINARKAN HATI
SAYA pernah mendengar Tuan Guru Ali
al-Murshifi berkata:
Para guru tarekat sufi sudah tidak
mampu lagi menemukan obat yang lebih
cepat menyinarkan hati sang murid
selain melanggengkan dzikir kepada
Allah Azza wa-Jalla. Maka orang yang
selalu berdzikir kepada Allah ibarat
orang yang memengkilapkan tembaga
yang berkarat dengan pasir, sementara
orang yang melakukan ibadah tapi tidak
selalu berdzikir kepada Allah ibarat
orang yang memengkilapkan tembaga
dengan sabun. Orang ini sekalipun
berusaha memengkilapkan tembaga yang
berkarat dengan sabun, tapi ia butuh
waktu yang cukup lama dan itu pun tidak
bisa mengkilap seperti tembaga yang
digosok dengan pasir atau debu.
Diantara perilaku seorang murid apabila
ia tinggal di zawiyah (pemondokan) atau
di tengah keramaian pasar hendaknya
yang dijadikan modal utama adalah
sanggup bersabar dengan penuh lapang
dada dan memaafkan semua orang yang
datang kepadanya dengan membawa
apa yang tidak disuka. Ia juga harus
sanggup menerima dengan senang hati,
rela dan pasrah terhadap apa yang
dibawa orang-orang yang tinggal di
pemondokan atau mereka yang tinggal
di tengah keramaian pasar. Kalau tidak,
maka dengan cara bersabar. Kalau
tidak sanggup bersabar atas tindakan
kasar saudara-saudaranya dan
masyarakat sekitarnya maka tidak
pantas masuk ke dalam tarekat kaum
sufi, dan sebaiknya keluar menuju ke
kalangan orang-orang awam dan
meninggalkan tarekat kaum sufi.
Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali
al-Murshifi bercerita:
AbuYazid al-Bisthami tidak mau tinggal
di suatu tempat kecuali bila orang-
orang yang ada di sekitarnya
mengingkari, selalu menyakiti dan
meremehkannya. Ini dia lakukan untuk
melatih diri (nafsu)nya. Ketika orang-
orang di sekitarnya sudah mulai
menghormati dan banyak berterima
kasih kepadanya, dia akan segera
rneninggalkan mereka. Barangkali ini
dilakukan pada tahap awal dia masuk ke
kalangan kaum Sufi.
Apabila seorang murid di negerinya
tidak menemukan seorang guru yang
bisa mendidiknya maka hendaknya
pindah ke orang yang sudah dianggap
bisa memberikan petunjuk kepada para
murid pada saat itu, sekalipun jarak
antara dia dengan tempat guru
tersebut memerlukan waktu setahun
atau lebih (barangkali perjalanan kaki;
Pent.). Terutama apabila ia diuji dengan
mencintai harta, perempuan atau
jabatan, maka ia harus hijrah
meninggalkan tempat tersebut untuk
menyelamatkan diri dari bencana
tersebut. Sebab segala sesuatu yang
dijadikan sarana untuk mendapatkan
sesuatu yang wajib maka sarana
tersebut akan menjadi wajib.
APAKAH SEORANG MURID HARUS
MENJADIKAN GURU LAIN SETELAH
GURU PERTAMANYA WAFAT?
DIANTARA kewajiban seorang murid
apabila gurunya telah wafat maka ia
harus menjadikan guru lain yang
menggantikan posisi guru pertamanya
dalam mendidik dan merawat apa yang
telah dilakukan oleh guru pertamanya.
Sebab tarekat tidak akan bisa kokoh.
Ketika Syekh Muhammad as-Surawi,
guru dari guruku, Syekh Muhammad asy-
Syanawi wafat, dimana gurunya telah
mengizinkan untuk men-talqin dan
membina para murid, maka Muhammad
asy-Syanawi berkumpul dengan Tuan
Guru Ali al-Murshifi dan menerima
bimbingan dzikir darinya, dimana Tuan
Guru Ali al-Murshifi mengatakan
kepadanya: Engkau syukur
alhamduliLlah telah sampai pada
tingkatan para tokoh sufi, maka engkau
tidak perlu untuk di-talqin dzikir. Lalu
ia menjawab, Saya tidak ingin diam
sesaat tanpa bimbingan seorang guru,
sekalipun saya termasuk orang yang
telah mendapatkan bimbingan dzikir
darinya dan mendapatkan izin untuk
membimbing para murid.
Kemudian sang guru berkata, Wahai
anakku, engkau akan mendapatkan
bimbingan dzikir lagi dari gurunya
gurumu, agar engkau dan gurumu sama-
sama murid dari Tuan Guru Ali.
Kasus seperti ini hanya boleh terjadi
pada orang-orang yang benar-benar
jujur dalam tarekat. Adapun orang yang
bukan kelompok orang-orang yang
benar-benar jujur maka dirinya tidak
akan mengizinkan untuk mendapatkan
bimbingan dzikir dari guru lain setelah
mereka mendapatkan izin untuk
membimbing dzikir dan membina para
murid. Hal itu dianggap sebagai tanda-
tanda tidak mendapatkan pertolongan,
dan merupakan tanda pertama kali
bahwa gurunya telah berkhianat dalam
memberi izin. Sebab orang fakir sufi
yang secara sah telah memberi izin
maka ia tidak punya ambisi, dimana ia
sudah membina dan mendidik para
murid, sementara ia menganggap
dirinya bukan dari bagian mereka.
Zawiyah atau khanqah adalah
pemondokan kaum fakir sufi dalam
menempuh aktivitas tarekat, seperti
berkhalwat para murid yang langsung di
bawah bimbingan sang guru, dimana
tempat ini biasanya berdekatan dengan
tempat tinggal sang guru. Untuk
selanjutnya kami terjemahkan,
pemondokan; (Pent.).
Saudara dalam istilah kaum sufi adalah
orang lain yang menjadi teman dalam
menempuh tarekat, dimana mereka
dianggap sebagai saudaranya sendiri.
Untuk selanjutnya, saudara; (Pent.).

Original Post : http://sufinews.com/

No comments:

Post a Comment